Senin, 03 Oktober 2011

USHUL FIQH

QAEDAH USHULIYAH

Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.
Yang dimaksud kalamiyyah ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang itu mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir, kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat.
Adapun ushuliyyah adalah seperti ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Mengenai masalah fiqhiyyah yang termasuk keadaan qoth’i yaitu shalat 5 waktu, zakat, puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah itu adalah satu, dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Setelah kita mengetahui yang qoth’i seperti tersebut, maka bisa ditarik garis sebagai berikut:
1. Apabila seseorang menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri dari maksud al-Syari’ (hal-hal yang setiap Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena pengingkarannya tidak timbul kecuali dari orang yang mendustakan syara’. (Misalnya orang mengingkari keesaan Allah, mengingkari wajibnya shalat 5 waktu, wajib puasa Ramadhan dsb, maka pengingkarnya itu adalah kafir).
2. Apabila masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan, seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir, tetapi ia bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya perempuan mengimami shalat lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa).
3. Adapun masalah fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah ini jadi tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu menurut orang yang berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak (berdosa) pula menurut orang yang mengatakan setiap mujtahid adalah tepat. 1
A. Pengertian dan fungsi Qaidah Ushuliyyah
Pengertian qaidah secara etimologi adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Atau dapat juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya). 2
Sementara itu Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu.
Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, shingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
Sedangkan perbedaannya :
No.
Qawaid Ushuliyyah
Qaidah Fiqih
1.
Dalil hukum
Perbuatan mukallaf
2.
Berlaku bagi seluruh juziyyah
Berlaku bagi sebagian besar (aghlab) juziyyah
3.
Sebagai sarana istinbath hukum
Sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih
4.
Bersifat prediktif
Bersifat wujud setelah ketentuan furu’
5.
Bersifat kebahasaan
Bersifat ukuran
B. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
a. السََّْبَبِ صِ بِِخُصٌوْ لاَ للّفْظِ ا مِ بِِعُمُوْ اَلْعِبْٕرَةُ
Artinya:
Yang dipandang dasar(titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab Khusus (latar belakang kejadian)
b. نِعُ اْلمَا مَ قُدِ نِعُ اْلمَا و اَلمُقْتَضِي جْتمَعَ ِاذَاا
Artinya:
Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan Dalil yang melarang.
c. يْحِ التَّصْرِ بَلَةِ مُقَا فـ لاَلةِ لِلــدِّ ةَ عِبْرَ لاَ
Artinya:
Makna implicit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit.
d. Lafazh nakirah dalam kalimat negatif(nafi) mengandung pengertian umum.
e. Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.
f. AL-AMR LIL IJAB : Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib. Seperti contoh kasus fiqhnya pada QS 5/1 (memenuhi janji adalah wajib).
g. Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.
h. Dalalah lafazh mutlak dibawa pada dalalah lafazhmuqayyad.
i. Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.
C. LAFAZH DAN DALALAHNYA
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh. Agar tidak membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara ‘itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafa).
Suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih kuat disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut mujmal adalah lafazh yang cocok untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan makna yang tidak dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya (Al-ghazali:145).
Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat), seperti lafazh guru’ bisa berarti suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata majemuk (munkkab) seperti mukhathab yang terdapat pada surat Al-baqarah: 237, yang bisa berarti suami atau wali. Terdapat juga pada kata kerja seperti lafazh asas yang bisa berarti menghadap dan membelakangi, pada huruf seperti pada wauataf bisa berarti memulai dan menyambungkan (dan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar