Senin, 03 Oktober 2011

KAJIAN USHUL FIQH

KAJIAN USHUL FIQH
USHUL FIQH: by Abu Najmah
Devinisi Ushul Fiqh

Kalimat ushul fiqh terdiri dari dua kata, yaitu kalimat ushul dan fiqh. Ushul adalah kata jamak dari ashal ( اصل ). Ashal menurut etimologi ialah pangkal, pokok, dasar dll. Misalnya: fondasi adalah tempat rumah didirikan; akar adalah penguat tegaknya pohon dan sebagainya.
Sedangkan lawan kata dari pada ashal adalah cabang ( فرع ). Jadi, jika keterangan tersebut dipakai sebagai acuan, rumah adalah cabang sedangkan fondasinya adalah ashal.
Kata yang kedua ialah fiqh, menurut etimologi artinya paham, sedangkan menurut terminology ialah:
هو العلم بالاحكام الشرعية العملية المكتسبة من ادلتها التفصيلية
“……mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amal perbuatan yang diambil dari dalil-dalil secara terperinci “
seperti perbuatan mukalllaf. Baik perbuatan anggota maupum batin, seperti hukum wajib, haram, mubah, sah atau tidaknya perbuatan itu.
Jika disimpulkan ta’rif ushul fiqh ialah :
هو العلم بالقواعد والبحوث التي يتوصل بها الي الاستفادة من الاحكام الشرعية العملية من ادلتها التفصيلية
“…..ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan pembahasan yang dipergunakan dalam pengambilam hukum syara’ yang praktis dari dalil-dalil terperinci “
sedangkan dalil-dalil hukum tersebut bersumber (mengambil) dari Al qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Yang telah menjadi ketetapan para ulama’ mujtahid.
Sedangkan devinisi kaidah ialah :
هي الظوابط الكلية العامة التي تشتمل علي احكام جزئية
“…. Batasan-batasan kuli yang juga umum yang bisa mencakup pada hukum juz’i”. contoh: amr itu menunjukkan wajib dan larangan menunjukkan keharaman, seperti firman Allah ta’ala:
واقيموا الصلاة واتوا الزكاة
Ayat tersebut menunjukkan akan kewajiban sholat dan zakat, sedangkan contoh larangan, yaitu firman Allah ta’ala:
لاتقربوا الزنا
Ayat tersebut menunjukkan akan keharaman berzina dan masih banyak contoh-contoh yang terdapat didalam Al qur’an.
Sedangkan yang dimaksud dengan “dalil-dalil tafsil” ialah:
هي الادلة الجزئية التي تتعلق بمسئلة بخصوصها وتدل علي حكم بعينه
“….dalil-dalil juz’i yang berkaitan pada permasalahan pada khususnya dan menunjukkan pada hukum secara spesifik “

  1. Tujuan Ilmu Ushul Fiqh
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami bahwa pokok bahasan dalam ilmu ushul fiqh ialah meletakkan kaidah-kaidah yang dipergunakan dalam menetapkan hukum bagi setiap perbuatan atau perkataan mukallaf. Dengan merealisasikan kaidah tersebut maka seorang mukallaf bisa mengetahui atau memahami hukum-hukum syara’, juga memahami ketidak jelasan nash, juga dapat mengetahui apabila ada pertentangan diantara dua buah nash, jug dapat mengetahui cara-cara atau metode para mujtahid dalam mengambil hukum dari nash, dan juga dapat mengetahui perbedaan pendapat antara fuqoha’ dalam menentukan dan menetapkan terhadap beberapa kasus.
Tidak hanya sampai disitu tujuan dari ushul fiqh dan masih banyak yang lain yang berkaitan erat dengan ushul fiqh, semisal: istihsan, istishab, qiyas, ijma’, dll.

  1. Pokok Bahasan Dalam Ushul Fiqh
Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa pokok bahasan dalam ilmu ushul fiqh ialah sumber umum hukum syara’ itu sendiri dan hukum umum yang diperoleh dari sumber hukum syara’.
Ahli ushul fiqh berbicara tentang Al qur’an dan sunah dari segi lafadlnya, baik dalam bentuk amar, nahi, ‘am, khos, mutlaq dan muqayyad. Mereka bicarakan tentang ijma’, qiyas, istihsan, istishab, mafhum, maslahatul mursalah, syariat yang ditetapkan dalam umat yang terdahulu, yang dapat dijadikan dasar dalam penetapan hukum pada setiap ucapan dan perbuatan mukallaf.
Demikianlah para ahli ushul fiqh menbahas lafadl amar dari segi pengertian aslinya yang menunjukkan wajib, lafald nahi dari segi pengertian aslinya menunjukkan haram, lafadl umum (‘am) yang pengertiaannya meliputi semua yang dapat dimasukkan kedalam pengertian itu, lafadl mutlaq dilaksanakan menurut arti aslinya demikian juaga lafadl muqayyad. Maka untuk semua itu mereka tuangkan dalam kaidah tertentu yang dinamakan kaidah hukum umum (hukum kulli) yang diambil dari sumber atau dalil umum (dalil kulli). Oleh para fuqoha’ kaidah hukum kulli dijadikan dasar menetapkan hukum pada hukum tertentu. Umpamanya dari kaidah “amar lil wujud” diterapkan dalam perjanjian bersumber dari ayat yang berbunyi:
ياايهاالذين امنوا اوفوا بالعقود
Artinya:”hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu……” (S. Al Maidah 1)
Berdasarkan kaidah “amar lil wujud” memenuhi janji hukumnya wajib. Dalam ayat yang berbunyi:
ياايهاالذين امنوا لايسخر قوم من قوم
Artinya:” hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-ngolok kaum yang lain……” (S. Al Hujarat 11)
Berdasarkan kaidah umum “nahi lit tahrim” maka ditetapkan merasa berbangga dan mengolok-ngolok golongan lain itu hukumnya haram. Dalam firman Allah yang berbunyi:
حرمت عليكم امهاتكم
Artinya:”diharamkan bagi kamu (mengawini) ibu-ibumu…..”(S.An nisa’ )
Berdasarkan keumuman ayat ini diharamkan mengawini ibu, baik ibu kandung maupun ibu susuan.
Dari uraian diatas jelaslah perbedaan antara dalil kulli dan dalil ju’i, hukum kulli dan hukum juz’i. dalil kulli ialah dalil umum yang dapat dimasukkan ke dalamnya beberapa kasus tertentu seperti amar, nahi, am, mutlaq, ijmak dan qiyas. Amar dikatakan hukum kulli karena ke dalamnya dapat dimasukkan semua lafadl yang menunjukkan perintah dan nahi dikatakan hukum kulli karena dapat dimasukkan ke dalamnya semua yang menunjukkan larangan. Amar dikatakan dalil kulli dan nash mengandung lafald amar dinamakan dalil juz’i. demikian juga nahi dalil kulli dan nash yang mengandung lafald nahi dinamakan dalil juz’i.
Hukum kulli ialah hukum umum yang masuk ke dalamnya beberapa macam seperti wajib, haram, sah, batal dan sebagainya. Wajib dinamakan hukum kulli, karena ke dalamnya dapat dimasukkan berbagai perbuatan yang wajib. Umpamanya wajib menunaikan janji, wajib mengadakan saksi dalam pernikahan. Haram adalah hukum kulli yang masuk kedalamnya beberapa macam perbuatan yang diharamkan seperti haramnya berbuat zina, haram menuduh berbuat zina, haram mencuri, haram membunuh dan sebagainya, dan haram atau wajib yang berlaku pada perbuatan tertentu dinamakan hukum juz’i.
Ahli ushul fiqh tidak membahas dalil juz’i dan tidak pula membahas hukum juz’i, namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum kulli yang mereka letakkan dalam kaidah umum yang nantinya oleh para fuqoha’ diterapkan pada setiap kasus. Sebaliknya para fuqoha’ tidak membahas dalil dan hukum kulli, namun yang mereka bahas adalah dalil dan hukum juz’i.

III. SELAYANG PANDANG TENTANG PERTUMBUAHAN DAN EVOLUSI FIQH DAN USHUL FIQH
Tumbuhnya hukum fiqh itu bersamaan dengan bertumbuhnya islam, karena islam itu kumpulan dari kaidah-kaidah atau aturan. Karena luasnya aspek yang diatur dalam islam, sehingga para ahli perlu membagi ajaran islam kepada beberapa bidang, seperti halnya bidang akhlak, muamalah, aqidah dll.
Kesemuanya itu dimasa Rosululloh diterangkan di dalam Al qur’an sendiri yang kemudian diperjelas lagi oleh Rosululloh dalam sunahnya. Hukum yang ditetapkan dalam Al qur’an atau sunah kadang-kadang dalam bentuk jawaban dari suatu jawaban atau disebabkan terjadinya suatu kasus atau merupakan keputusan yang dikeluarkan Rosululloh ketika memutuskan suatu perkara, jadi sumber fiqh di masa itu hanya ada dua ialah Al qur’an dan sunah.
Dimasa shahabat banyak terjadi berbagai peristiwa yang dahulunya belum pernah terjadi. Maka untuk menetapkan hukum dalam suatu peristiwa yang baru itu para sahabat terpaksa berijtihad, dalam ijtihad ini kadang-kadang terdapat kesepakatan pendapat , seperti ini dinamakan “jmak” dan kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat yang dinamakan “atsar”. Para sahabat tidak akan menetapkan hukum suatu perbuatan terkecuali memang sudah terjadi, dan hasil ijtihad para sahabat tidak dibukukan karena itu hasil ijtihad mereka belum lagi dianggap sebagai ilmu tetapi hanya merupakan pemecahan terhadap kasus yang mereka hadapi. Karena itu hasil ijtihad para sahabat belum dinamakan fiqih dan para sahabat yang mengeluarkan ijtihad belum dinamakan fuqaha’.
Pada abad kedua dan ketiga hijriyah, yang dikenal dengan masa tabi’in, tabi’it tabi’in dan imam-imam madzhab, daerah yang dikuasai oleh umat islam semakin luas, banyak bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk agama islam. Karena itu banyak timbul berbagai kasus baru yang sebelumnya belum pernah terjadi.karena kasus baru inilah yang memaksa para fuqoha’ berijtihad mencari hukum kasus itu, dalam berijtihad mereka bukan saja berbicara yang mungkin terjadi pada masa mendatang. Jadi sumber fiqh pada masa itu disamping Al qur’an dan sunah ditambah lagi dengan sumber lain seperi ijmak, qiyas, istishab, istihsan, maslahatul mursalah, madzhab sahabat dan syariat sebelumnya.
Di masa ini dimulai gerakan pembukuan sunah, fiqh dan berbagai macam ilmu pengetahuan lainnya. Dalam mencatat fiqh disamping mencatat pendapat juga ditambah denga dalil pendapat baik Al qur’an maupun sunah atau dari sumber lainnya. Pada masa ini orang yang berkecimpung dalam ilmu fiqh dinamakan “fuqoha” dan ilmu pengetahuan mereka dinamakan fiqh.
Orang pertama yang mengambil inisiatif dalam bidang ini adalah Malik bin Anas yang mengumpulkan sunah, pendapat para sahabat dan tabi’in, yang dikumpulkan dalam sebuah kitab ysng dinamakan kitab “Muwattha’”, yang menjadi pegangan orang Hijaz. Imam Abu Yusuf menulis beberapa buah kitab tentang fiqh yang menjadi pegangan orang Irak, Imam Muhammad bin Hasan salah seorang murid imam Abu Hanifah telah mengumpulkan tentang pendapat-pendapat imam Abu Hanifah dalam sebuah kitab “Zahirur Riwayah” yang menjadi dasar madzhab Hanafi, dan di Mesir Imam Syafi’i menyusun kitab “Al ‘Um” yang menjadi dasar madzhab Syafi’i.
Ilmu ushul fiqh baru lahir pada abad kedua hijriyah. Sebagaimana diterangkan diatas bahwa pada abad ini daerah kekuasaan umat islam makin meluas, banyak orang selain arab memeluk agama islam. Karena itu banyak menimbulkan kesamaran dalam memahami nash, sehingga di rasa perlu menetapkan kaidah-kaidah bahasa yang dipergunakan dalam membahas nash, maka lahirlah ilmu ushul fiqh yang menjadi penuntun dalam memahami nash.
Namun semenjak lahirnya ilmu ushul fiqh sebagaimana juga lahirnya ilmu pengetahuan yang lain, baru dalam bentuk yang sangat sederhana, pembahasannya masih berserakan dalam pembahasan dalil yang baru dikemukakan untuk memperkuat dan mempertahankan pendapat.
Menurut Ibnu Nadim dalam kitabnya yang bernama “Fahrasat” bahwa orang yang mula-mula mengumpulkan kaidah-kaidah itu dalan suatu catatan ialah Abu Yusuf namun sangat disayangkan catatan ini tidak sampai ke tangan kita. Oleh ahli ushul dianggap yang pertama mengumpulkan dan menyusun ilmu ini adalah Imam Syafi’i dalam kitabnya yang bernama “Risalah”. Dan dibelakang lahirlah para penulis lain yang melengkapi dan menyempurnakan seperti Imam Ghazali (505 H) dalam kitabnya yang bernama “Al Musthofa”, Al Amidi (631 H) dalam kitabnya yang bernama “Al Minhaj” yang disyarahkan oleh Asnawi.
Dari kalangan madzhab Hanafi yang terkenal seperti Abu Zaid Ad Dabbas (430 H) dalam kitabnya yang bernama “Ushul”, Fathul Islam Al Bazdawi (430 H) dalam kitabnya yang bernama “Ushul” dan Nasafi (790 H) dalam kitabnya yang bernama “Al Manar”.
Di samping itu lahirlah pula kitab yang bernama “Kitab Badi’il Nizam Al Jami Baina Bazdawi Wal I’tisom” oleh Muzafaruddin Al Badadi Al Hanafi (644 H), kitab “Tahrir” oleh Kamal bin Human dan kitab “Jam’ul Jawani” oleh Ibnu Subki.
Di abad sekarang ini ada pula beberapa buah kitab ditulis oleh para ulama’ yang di antaranya “Irsyadul Fuhul” oleh Syaukani (1250 H), kitab ushul fiqh oleh Hudari Bek (1927 M), kitab “Tahsilul Wusul” oleh Muhammad Abdurrohman Mahlawi (1920 M). dan banyak lagi kitab-kitab yang berbicara tentang ushul fiqh.

IV. KESIMPULAN
Ilmu Ushul Fiqh sangat relevan dikembangkan dalam masyarakat modern, terutama bagi ulama’ dan intelektual muslim yang memiliki otoritas untuk memproduk hukum dan memberi fatwa yang sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga produk fiqh yang mereka tawarkan, benar-benar menyentuh segala aspek kehidupan bermasyarakat. Tidak perlu kaku, mempersulit, dan hanya mengukur kemampuannya sendiri, sehingga hukum yang ada tidak mampu untuk di emban oleh masyarakat luas, dan pada gilirannya hukum justru akan di tinggalkan. Dan juga tidak perlu liberal (bebas), sehingga berakibat pada tidak adanya ukuran yang pasti dan jelas, yang kemudian hukum tak ubahnya buih dilautan, yang bisa diperalat sebagai justifikasi oleh oknum-oknum tertentu.
Jika kita memang telah sepakat bahwa islam adalah agama yang sangat relevan dalam setiap dimensi ruang dan waktu. Bukankah diantara relevansinya itu setiap muslim, para ulama’ yang sudah mumpuni keilmuannya bisa meletakkan hukum yang sesuai dengan lingkungan masing-masing. Sekalipun menyalahi ketentuan yang sudah ada sebelumnya. Pertanyaannya, kenapa kebanyakan ulama’ masa sekarang merasa puas bahkan merasa cukup dengan keputusan hukum yang ditetapkan oleh ulam’ sekitar 14 abad yang silam.
Secara pribadi, penulis optimis bahwa dalam masyarakat kita sekarang banyak ulama’ yang mengikuti pola kesalafan dan intelektual muslim yang berkualitas tinggi, mampu menelorkan hukum-hukum islam yang menitik beratkan pada kehidupan modern sekarang dan setelahnya. Tanpa harus membuang jauh warisan islam khazanah islam klasik.
Kita hanya bisa berharap dan semoga harapan itu bisa menjadi kenyataan agar kedua golongan diatas bisa duduk bersama dalam meja hijau, gna mendiskusikan dalam segala hal yang menyangkut masyarakat muslim, dan ikut serta memberikan sumbangan besar terhadap perkembangan hukum-hukum islam..

KARAKTERISTIK USHUL FIQIH

MENURUT HANAFIYAH DAN SYAFIIYAH



  1. PEMBAHASAN
    1. HANAFIYAH
Imam Abu Hanifah di lahirkan di kota Kufah pada tahun 80 H (699 M). Beliau mula-mula mempelajari Ilmu Kalam, kemudian mempelajari Ilmu Fiqih dengan seorang yang bernama Hamad Bin Sulaiman di kota Kufah dan wafat pada tahun 150 H (769M) di Bagdad.
Irak dimana Abu Hanifah dilahirkan suatu daerah yang penuh dengan pergolakan politik dan letaknya jauh dari kota Madinah yang tentunya jumlah hadist yang ada di daerah ini sangat sedikit dan juga kalangan Khawarij dan Syiah yang berupaya menarik perhatian umat Islam unutk memperkuat propaganda politik mereka.
Dasar-dasar istidlal yang digunakan oleh Abu Hanifah adalah Al Qur’an, Sunnah dan Ijtihad dalam pengertian luas. Artinya jika nash AlQur’an dan Sunnah secara jelas-jelas menunjukkan suatu hukum itu disebut, maka beliau mengambil dari keduanya. Tetapi bila nash tersebut menunjukkan secara tidak langsung/hanya memberikan kaidah-kaidah dasar yang menunjukkan moral, Illat maka pengambilan hukum tersebut melalui Qiyas.
Dalam pernyatan tersebut Abu Hanifah tidak menyebutkan Qiyas dan Ihtishan ke dalam dasar-dasar yang menjadi pijakan dalam berijtihad sebab yang Beliau maksudakan ialah dasar Naqliyah sementara Qiyas dan Istihsan merupakan metode Istidlal Aqliyah. Masalah ini dapat di pahami dari pernyataan Abu Hanifah bahwa ” beliau tidak merujuk pada pendapat sahabat kecuali apabila tidak ditemukan dalam Kitabullah dan Sunnah Nabi. Demikian pula apabila tidak ditemukan dalam pendapat sahabat dan masalahnya sampai pada tabiin maka Beliau berijtihad sebagaimana mereka berijtihad “.
Dalam masalah ini sebenarnya belum ada perbedaan dengan para imam yang lain. Semua imam sepakat tentang keharusan merujuk pada Al Qur’an dan Sunnah. Yang membedakan dasar-dasar pemikiran Abu Hanifah dengan yang lain sebenarnya terletak pada kegemaran Beliau dalam menyelami suatu hukum, mencari tujuan moral dan kemaslahatan yang menjadi sasaran utama disariatkannya suatu hukum. Termasuk dalam hal ini adalah teori penggunaan qiyas,istihsan, urf (adat kebiasaan), kemaslahatan dan lainnya. Perbedaan yang lebih tajam lagi bahwa Imam Abu Hanifah menggunakan

teori-teori tadi dan sangat ketat dalam penggunaan hadist ahad, tidak seperti para imam lainnya. Imam Abu Hanifah sering menafsirkan suatu nash dengan membatasi konteks aplikasinya dalam kerangka, illat, hikmah, dan tujuan-tujuan moral dan bentuk kemaslahatan yang Beliau pahami. Betapapun Abu Hanifah terkenal dengan mazhab rasionalis yang acapkali menyelami dibalik arti dan illat suatu hukum dan sering mempergunakan Qiyas tetapi itu tidak berarti beliau telah mengabaikan nash-nash Al Quran dan sunnah. Tidak ada riwayat shohih yang menyebutkan bahwa Abu Hanifah mendahulukan rasio daripada Sunnah. Bahkan jika beliau menemukan pendapat sahabat yang benar beliau menolak untuk berujtihad. Dengan kata lain pemikiran fikih Abu Hanifah tidak berdiri sendiri, tetapi malah berakar kuat pada pendahulunya di Irak dan juga para ahli hadits di Hijaz.
Muhammad Bin Ahsan, seperti yang dikutip oleh Abu Zahrah membenarkan dalam masalah hukum seseorang melakukan hubungan dengan istrinya sebelum Tawaf, Abu Hanifah mengambil pendapat Ibnu Abbas seorang ulama’ Ahli Hadits Makkah dan menolak pendapat Ibrahim yang dikenal banyak mewariskan pemikiran fiqih rasional kepadanya.
Secara faktual pemikiran Abu Hanifah memang sangat mendalam dan rasional. Beliau memberi syarat yang cukup ketat dan selektif dalam penerimaan hadits ahad. Bagi Abu Hanifah ada 3 syarat yang harus di penuhi dalam penerimaan hadits ahad sbb:
  1. Orang yang meriwayatkan hadits tidak boleh berbuat/berfatwa yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan.
  2. Hadits ahad tidak boleh menyangkut persoalan umum dan sering terjadi sebab kalau menyangkut persoalan umum dan sering terjadi mestinya hadits tersebut diriwayatkan oleh banyak perawi tidak seorang saja.
  3. Hadits ahad tidak boleh bertentangan dengan kaidah – kaidah umum atau dasar – dasar kulliyah.
Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh fuqoha’ dari pada seorang ahli hadits kejujuran saja belum cukup unutk mengetahui seluk beluk hadits apalagi yang menyangkut hukum. Oleh karena itu Abu Hanifah lebih mengutamakan hadits yang diriwayatkan oleh orang-orang yang mengerti masalah fiqih.

Kondisi sosiologis dimana Abu Hanifah dibesarkan tentu mempengaruhi cara berfikir. Dengan sikap selektif dalam penerimaan hadits ahad Abu Hanifah dapat lebih leluasa melakukan penafsiran hadits-hadits shahih, menyelami tujuan moral dan banyak mempergunakan rasio sehingga mampu memberi jawaban perkembangan terhadap berbagai perkembangan pada saat itu. Para ahli fiqih diwilayah Kufah lebih banyak mengenal dan mengerti hadits dari fuqoha bukan dari para muhaddisin. Sudah barang tentu Abu Hanifah dituntut untuk menyeleksi hadits yang sampai ke Kufah atau minimal menyangsikan kesahihan hadits atau perawinya yang tidak memenuhi persyaratan. Dari situ beliau cenderung memakai rasio dan ijtihad.
Dr. Faruq Abu Zaid menyebut beberapa faktor lain yang melatar belakangi kecenderungan dan metode rasional Abu Hanifah. Penduduk Kufah tempat Beliau dilahirkan dan dibesarkan merupakan masyarakat yang sudah banyak mengenal kebudayaan dan peradaban. Fuqoha’ daerah ini sering dihadapkan pada berbagai pedoman hidup berikut problematikanya yang beranekaragam. Untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut mereka terpaksa memakai ijtihad dan akal. Keadaan ini berbeda dengan Hijaz. Masyarakat daerah ini masih diliputi oleh suasana kehidupan Badawah (sederhana) seperti keadaan pada masa Nabi. Untuk mengatasi berbagai masalah dalam kondisi seperti ini para ahli fiqih merasa cukup dengan mengandalkan Al Quran, Sunnah dan Ijma’ para sahabat. Karena itulah mereka tidak merasa perlu berijtihad seperti fuqoha’ Irak.1
Faktor lain yang menyebabkan Abu Hanifah menjadi seorang rasionalis bahwa Beliau tidak langsung menggumuli Ilmu-ilmu syariat. Pada awal kehidupan Iklmiahnya Beliau mempelajari Ilmu kalam kemudian belajar Fiqih kepada Syeh Hammad Bin Sulaiman. Beliau juga seorang pedagang kain yang menyebabkan Beliau mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang perdagangan. Studinya dalam Ilmu kalam membuatnya tampil dalam menggunakan logika unutk mengatasi berbagai persoalan Fiqih.

    1. SYAFIIYAH
Muhammad Bin Idris Asy Syafii dilahirkan dikota Gaza (Palestina) pada tahun 150 H ketika masih kecil dibawa Ibunya ke Makkah dan di kota tersebut Beliau belajar Hadis dengan Muslim Al Zanji dan Sofyan Bin Umaiyah. Sesudah itu Beliau meneruskan pelajarannya ke kota Madinah dan belajar dengan Imam Malik.
Setelah beberapa tahun Beliau melakukan perjalanannya ke berbagai kota kemudian beliau sempat singgah di Bagdad selama beberapa tahun. Selama di Bagdad Beliau menghimpun pandangan Fiqihnya berdasarkan pengalaman yang sudah dialaminya dalam sebuah kitab yang dinamakan “Al Hujjah” dan juga dinamakan mazhab qadim/qoul qadim. Pada tahun 198 H atas permintaan Gubernur Abbas Bin Musa untuk mengunjungi Mesir dan beliau berada di Mesir selama 6 tahun sampai beliau wafat pada tahun 204 H. Selama di Mesir Beliau mengubah pendapatnya yang lama yang di tulis pada saat di Bagdad di ganti dengan pendapat baru yang dinamakan pendapat jadid/qoul jadid yang terhimpun dalam kitab “Al Um” selama dalam perantauan. Disamping itu Imam Syafii juga menulis kitab “Ar Risdalah” yang menjadi dasar Ilmu Ushul Fiqih.
Mazhab Syafii adalah satu-satunya mazhab yang tersebar tanpa mendapat dukungan dari pemerintah tersebar dikarenakan dalam menetapkan hukum selalu mempergunakan dalil nash. Karena itu ajaran imam Syafii dapat menghimpun kedua aliran yang berkembang pada masanya yaitu Ahli Hadits dan Ahlu Ra’yi. Karena Beliau pernah belajar kepada kedua tokoh aliran tersebut. Namun Beliau tidak terpengaruh kepada Aliran Ahlu Ra’i tetapi lebih banyak kepada aliran Ahlul hadits.
Adapun cara pengambilan hukum dalam Mazhab Syafii lebih dahulu mengambil dalam Al Qur’an dan kalau tidak ditemui baru ke dalam Sunnah dan dari kedua sumber ini berdasarkan harfiyah nash selama tidak ada hal yang memalingkan dari arti hakiki ke arti majazi. Dalam bidang Hadits Imam Syafii berbeda dengan Mazhab Hanafi karena Imam Syafii masih menerima hadits ahad sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan Mazhab Maliki sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan mazhab Maliki yang menganggap perkataan dan perbuatan para sahabat dapat dijadikan sebagai dalil serta perbuatan penduduk kota Madinah dapat dijadikan dalil. Kalau tidak ada sumber tersebut barulah Beliau mengambil ijmak baik ijmak sahabat maupun tabiin

dan ijmak baru dicari hukumnya melalui kias dengan syarat pokok kias bersumber pada Al Qur’an atau Sunnah atau Ijmak sesudah itu menggunakan Istishab.
Imam Syafii menyebutkan 4 cara Al Qur’an dalam menerangkan suatu hukum sbb:
  1. Al Qur’an menerangkan suatu hukum dengan nash-nash hukum yang jelas. Seperti nash yang mewajibkan sholat, zakat, puasa, haji atau nash yang mengharamkan zina, minum khomr dll.
  2. Suatu hukum yang disebut secara global dalam Al Qur’an dan dirinci dalam Sunnah Nabi. Seperti jumlah rokaat Sholat, waktu pelaksanaannya, zakat apa dan berapa kadar yang harus dikeluarkannya. Semua itu disebut secara global dalam Al Qur’an dan Nabilah yang menerangkan secara perinci.
  3. Nabi Muhammad SAW juga sering menentukan suatu hukum yang tidak ada nash hukumnya dalam Al Qur’an. Bentuk penjelasan penjelasan Al Qur’an untuk masalah seperti ini dengan mewajibkan taat kepada Nabi dan menjauhi larangannya. Dalam Al Qur’an disebutkan yang artinya sbb:
“….. Barang siapa yang taat kepada Rosul berarti ia taat kepada Allah …” (Q.s 4:80)
Dengan demikian suatu hukum yang ditetapkan oleh Sunnah berarti juga ditetapkan oleh Al Qur’an. Karena Al Qur’an memerintahkan untuk mengambil apa yang diperintahkan oleh Nabi … (Qs 59:7)
  1. Allah juga mewajibkan hambanya unutk berijtihad terhadap berbagai persoalan yang tidak ada ketentuannya dalam Al Qur’an dan Hadits. Penjelasan Al Qur’an terhadap masalah seperti ini yaitu dengan membolehkan untuk berijtihad (bahkan mewajibkan) sesuai dengan kapasitas pemahaman terhadap Maqasid Al Syar’iah (tujuan-tujuan hukum syariah) misalnya dengan Qiyas / penalaran analogi. Dalam Al Qur’an disebutkan:
“ Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rosulnya dan orang-orang yang mempunyai kekuasaan diantara kamu. Maka apabila kamu berselsih tentang sesuatu kembalikanlah kepada Allah dan Rosulnya “ (Qs.4:59)

Menurut Imam Syafii kembalikan kepada Allah dan Rosulnya berarti kembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah. Dan pengembalian itu hanya dapat dilakukan dengan Qiyas. Beliau juga menyebutkan bahwa Ijtihad merupakan perintah AlQur’an itu sendiri dan bukan merekayasa hukum.
Dari keterangan tersebut dapat diketahui “posisi tengah” pemikiran metodologis Syafii. Beliau sangat berpegang teguh pada Al Qur’an dan Sunnah.

III. KESIMPULAN

Dari keterangan tersebut dapat diketahui bahwa sesuai dengan kondisi di irak Imam Abu Hanifah dalam membina Fiqihnya lebih dahulu mengutamakan AlQur’an sebagaimana imam-imam yang lain kemudian Sunnah. Hanya dalam pemakaian Sunnah beliau meletakkan syarat yang sangat berat sekali. Jadi dengan demikian jelas Imam Abu Hanifah diantara imam-imam Mazhab lainnya terkenal yang paling banyak mempergunakan rasio.
Adapun cara pengambilan hukum dalam Mazhab Syafii lebih dahulu mengambil dalam Al Qur’an dan kalau tidak ditemui baru ke dalam Sunnah dan dari kedua sumber ini berdasarkan harfiyah nash selam atidak ada hal yang memalingkan dari arti hakiki ke arti majazi. Dalam bidang Hadits Imam Syafii berbeda dengan Mazhab Hanafi karena Imam Syafii masih menerima hadits ahad sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan Mazhab Maliki sebagai sumber fiqihnya dan juga berbeda dengan mazhab Maliki yang menganggap perkataan dan perbuatan para sahabat dapat dijadikan sebagai dalil serta perbuatan penduduk kota Madinah dapat dijadikan dalil. Kalau tidak ada sumber tersebut barulah Beliau mengambil ijmak baik ijmak sahabat maupun tabiin
dan ijmak baru dicari hukumnya melalui kias dengan syarat pokok kias bersumber pada Al Qur’an atau Sunnah atau Ijmak sesudah itu menggunakan Istishab.


HUKUM SYARA’

II PEMBAHASAN

1 .HAKIM
Hakim adalah orang yang menetapkan atau mengeluarkan hukum yaitu hukum-hukum Alloh SWT, maksudnya hakim ini adalah orang yang mengeluarkan hukum-hukum syariat yang berhubungan dengan semua pekerjaan mukallaf.
Para ulama bersepakat bahwa pembuat peraturan syara’ ialah Alloh SWT peraturan itu diturunkan pada rosulnya dalam bentuk wahyu Al Quran atau Sunnah, dan dari sana para mujtahid mendapat petunjuk dengan melakukan istimbat dari dalil-dalil syariat.
Lalu timbul pertanyaan sipakah yang nenjadi hakim sebelum rosul diangkat ?
Dalam hal ini ulama terbagi menjadi tiga :

  1. MAZHAB ASYARIAH
Mereka berpendapat bagaimanapun cerdasnya otak manusia tidak mampu mengetahui hukum Alloh tanpa melalui perantara Rosul dan kitabnya. Karena kecerdasan akal seseorang berbeda-beda, seseorang mengatakan baik suatu perkara mungkin orang lain akan mengatakan jelek. Dan dimaklumi akal manusia selalu di pengaruhi kepentingan dan keinginannya.
Dasar mazhab ini, kebaikan adalah sesuatu yang dijelaskan syara’ bahwa sesuatu itu benar, lalu diperbolehkan dan di perintahkan untuk mengerjakannya . Dan sesuatu yang jelek adalah sesuatu yang dijelaskan oleh syara’ bahwa itu jelek dan diperintahkan untuk menjauhinya. Sementara mereka berpendapat bahwa manusia yang hidup sebelum turunnya wahyu mereka tidak dibebankan untuk melakukan perintah atau meninggalkan apa yang dilarang. Pendapat ini diperkuat dengan firman Alloh :


Artinya : Dan aku tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang rosul ( QS:Al Isro’ 15 )


  1. MAZHAB MU’TAZILAH

Mazhab ini berpendapat bahwa hukum dapat diketahui dengan akal tanpa melalui wahyu Rosul dengan menimbang apakah perbuatan itu merusak ataupun bermanfaat, kalau akal menganggap baik berarti baik disisi Alloh dan jika dianggap jelek akal berarti jelek pula disisi Alloh.
Sedangkan orang yang hidup sebelum diutusnya Rosululloh mereka tetap berkewajiban melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Alloh, karena hukum dapat diketahui dengan akal.

Dasar mereka adalah firman Alloh :



Artinya : Katakanlah tidak sama buruk dengan yang baik meskipun yang buruk itu menarik hatimu. (QS: Al Maidah: 100)

  1. MAZHAB MATURIDIYAH

Pendirian mazhab ini menggabungkan kedua mazhab terdahulu yaitu dengan akal manusia dapat menemukan ciri-ciri perbuatan itu. Apakah perbuatan itu baik atau buruk lalu dengan wahyu memastikan apakah yang ditemui akal itu sudah benar atau salah. Dan sesungguhnya pekerjaan itu tidak dikatakan baik jika tidak diperintahkan oleh syara’ untuk mengerjakannya dan tidak dikatakan jelek kalau syara’ tidak menyuruh untuk meninggalkannya. Maka sesungguhnya setiap perbuatan mulia akal pasti mampu membenarkannya dengan melihat segi manfaatnya dan mampu mengetahui perkara buruk dengan melihat segi madlorotnya.


II . HUKUM

Definisi hukum secara garis besar adalah sesuatu yang dikeluarkan pleh hakim dengan kemampuannya atas perbuatan mukallaf.
Seperti yang dijelaskan didepan bahwa pembuat hukum syara’ adalah Alloh SWT, oleh sebab itu para ulama ushul sepakat bahwa definisi Hukum Syara’ adalah Khitob (firman) Alloh yang berhubungan dengan perbuatan para mukallaf baik dalam bentuk perintah, pilihan, atau penetapan sesuatu.
Ini diperkuat dengan firman Alloh :


Artinya: Menetapkan hukum itu hak Alloh Dia menerangkan yang sebenarnya dan pemberi keputusan yang paling baik. (QS:Al An’am : 57)
Sedang menurut istilah Fuqoha’ Hukum Syara’ adalah Dampak / akibat dari khitob Alloh pada setiap perbuatan mukallaf seperti wajib, haram, dan mubah.

Para ulama usul menetapkan bahwa hukum syara’ dibagi dua yaitu :
  1. Hukum Taklifi yaitu Perkara yang menuntut untuk melakukan, meninggalkan atau kebebasan untuk memilih antara melakukan atau tidak melakukan.

contoh yang mengandung tuntutan.




Artinya : Hai orang –orang yang beriman penuhilah akad-akad itu .
Mengandung tuntutan untuk tidak melakukan .


Artinya : Janganlah kamu semua mendekati zina.
Yang menunjuk pada pilihan .



Artinya : Bila telah ditunaikan sholat bertaburlah dimuka bumi .
  1. Hukum Wad’I adalah suatu perkara yang menjadi syarat , sebab , atau mani’ .
contoh yang menunjukkan sebab




Artinya : Hai orang-orang yang beriman bila hemdak melakukan sholat maka basuhlah sampai siku .
yang menunjukkan syarat.



Artinya : Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Alloh, yaitu bagi yang sanggup melakukan perjalanan ke Baitullah.

Dari uraian diatas dapat dibedakan antara hukum taklifi dan hukum wad’I dari dua segi :
  1. Hukum Taklifi mngandung tuntutan untuk mangerjakan sesuatu ataupun meninggalkannya atau memberi kebebasan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkanya. Sedang hukum wad’I menjelaskan sesuatu yang menjadi sebab, syarat, atau mani’ dari suatu perbuatan .
  2. Hukum Taklifi hanya perkara yang berada dalam batas kemampuan mukallaf yang mampu dikerjakan seorang mukalllaf sedang wad’I perkara yang menjadi sebab, syarat, ataupun mani’ adakalanya suatu perkara itu dalam batas kemampuan mukallaf dan adakalanya diluar batas kemampuan mukallaf .

    1. HUKUM TAKLIFI

Pembagian-pembagian hukum taklif, hukum Taklif dibagi menjadi lima macam yaitu wajib, sunnah, haram , makruh ,dan mubah.
1 . Wajib

Wajib menurut Syara’ adalah suatu perkara yang diperintahkan oleh syara’ secara keras kepada mukallaf untuk melaksanakannya. Atau menurut definisi lain ialah suatu perbuatan kalau dikerjakan mendapat pahala dan kalau ditinggalkan akan mendapat siksa. Wajib dikenali dari lafad atau tanda lain.
Contoh melalui lafad :


Artinya : Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diajibkan atas orang-orang sebelum kamu.

Lalu wajib dibagi menjadi beberapa macam:
  1. Wajib dari segi waktu
a. Wajib Muaqqot
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ untuk mengerjakannya dan waktunya sudah ditentukan. Contoh : sholat, puasa romadlon dan lain-lain.
b.Wajib Mutlak
yaitu perkara yang diwajibkan oleh syara’ yang waktunya belum ditentukan. Contoh : haji yang diwajibkan bagi yang mampu dan waktunya ini belum jelas.
  1. Wajib dari segi orang yang mengerjakan
a.Wajib ‘aini
yaitu perkara wajib yang harus dikerjakan oleh tiap-tiap individu yang tidak boleh diwakilkan pada orang lain. Contoh : sholat, puasa
b .Wajib kafai
yaitu wajib yang dibebankan pada sekelompok orang dan kalau sakah seorang adayang mengerjakan gugur kewajiban yang lain. Contoh sholat mayit , amar ma’ruf nahi mungkar dan lainnya.
  1. Wajib dari segi kadar tuntutan .
a . Wajib Mukhaddat
yaitu perkara yang sudah ditentukan syara’ bentuk perbuatan yang di wajibkan dan mukallaf dianggap belum melaksanakan kewajiban sebelum melaksanakan seperti apa yang diwajibkan syara’. Contoh sholat, zakat, dan lainnya.
b. Wajib Ghoiru Mukhaddat
yaitu perkara wajib yang tidak ditentukan cara pelaksanaannya dan waktunya , san diwajibkan atas mukallaf tanpa paksaan. Contoh infaq dijalan Alloh ,menolong orang kelaparan, dan lainnya.
  1. Wajib juga dibagi menjadi Mua’yan dan Mukhoyar
a. Mua’yan
yaitu kewajiban melakukan sejenis perbuatan tertentu seperti sholat, puasa, dan lainnya. Dan mukallaf belum gugur kewajibannya sebelum melaksanakannya.
b. Mukhoyar
yaitu sebuah kewajiban untuk melakukan beberapa macam perbuatan tertentu dengan memilih salah satu dari yang ditentukan. Contoh melanggar sumpah, maka kafarotnya ialah memberi makan sepuluh orang miskin atau pakaian ataupun juga memerdekakan budak.

2. Sunnah / Mandub

Mandub adalah suatu perkara yang perintahkan oleh syara’ kepada mukallaf untuk mengerjakannya dengan perintah yang tidak bigitu keras atau definisi lain yaitu diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan tidak disiksa bagi yang meninggalkannya .
Sighatnya mandub dapat diketahui dengan lafadnya seperti kata disunnahkan / dianjurkan atau sighot amar, tapi ditemui dalam nash itu tanda yang menunjukkan perintah itu tidak keras.
Contoh
ياايهاالذين امنوااذاتداينتم بدين الي اجل مسمي فاكلتبوه
Artinya : Hai orang – orang beriman, apabila kamu hutang piutang tudak secara tunai hendaklah kamu menulisnya.
Dalam ayat lain diterangkan :
فليس عليكم جناح الاتكتبوها
Artinya : Maka tak ada dosa bagi kamu (jika) kamu menulisnya.
Dari lafad yang kedua diketahui menulis hutang itu hanya mandub.

Mandub dibagi menjadi tiga bagian:
  1. Sunnah Hadyi yaitu suatu perkara yang disunnahkan sebagai penyempurna perbuatan wajib.Orang yang meninggalkannya tidak dikenai siksa tetapi tercela. contoh adzan, sholat berjamah dan lain – lain.
  2. Sunnah Zaidah yaitu perkara yang disunnahkan untuk mengerjakannya sebagai sifat terpuji bagi mukallaf, karena mengikuti nabi sebagai manusia biasa. seperti makan, minum, tidur dll.
  3. Sunnah Nafal yaitu perkara yang disunnahkan karena sebagai pelengkap perkara wajib. Bagi yang mengerjakannya mendapat pahala dan yang meninggalkannya tidak disiksa / dicela. Contoh sholat sunnat
3. Haram

Haram adalah perkara yang dituntut oleh syara’ untuk tidak mengerjakannya secara keras. Dengan kata lain kalau dikerjakan mendapat aiksa kalau ditinggalkan mendapat pahala. contoh
ولاتقربوا لزنا انه كان فاحشة
Artinya : Janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah perbuatan keji.

Haram dibagi dua yaitu:
  1. Haram asli karena zatnya yaitu perkara yang diharamkan dari asalnya atau asli karena zatnya. Karena dapat merusak/ berbahaya. Contoh zina mencuri dll.
  2. Haram ghoiru zat yaitu perkara yang hukum aslinya itu wajib, sunnah, mubah, tapi karena mengerjakannya dibarengi dengan cara atau [perkara haram seingga hukumya haram. Contoh sholat memakai dari baju hasil menggosob dll.

4. Makruh

Makruh adalah perkara yang dituntut syara’ untuk meninggalkannya namun tidak begitu keras. Dengan kata lain perkara yang dilarang melakukan tapi tidak disiksa bagi yang mengerjakan.

Contoh:
ياايهاالذين امنوالاثسالواعن اشياءان ثبدلكم ثسؤكم
Artinya : Hai orang –orang yang beriman jangalah menanya hal-hal yang jika diterangkan kepada kamu niscaya menyusahkan kamu.

SOLUSI ISLAM

FORWARD THINKING FUTURE
A historian, was researching disebuah famous sites, but the middle of the trip he met with three construction workers who were working, the historians asked them about what they do:
Historian: What are you doing?
One builder: I'm preparing a stone rock.
Historian: If you?
Mason 2: I'm working for my family needs memebuhi
Historian: If you?
Building handyman 3: I'm building the world's largest and most magnificent mosque.

"One job with the same question, has three different answers, and answers the third is a maker of history"

USHUL FIQH

QAEDAH USHULIYAH

Nash/teks Al-Qur’an dan Hadits dalam teori terbagi dua, qoth’i (pasti) dan dhonni (dugaan). Itu dipandang dari segi dalalah dan wurud (penunjukan makna dan datangnya) nash. Sedang nash qoth’i itu sendiri bisa digolongkan menjadi tiga: Kalamiyyah, Ushuliyyah, dan Fiqhiyyah.
Yang dimaksud kalamiyyah ialah naqliyah semata, dan dalam hal ini yang benar hanya satu. Maka barangsiapa yang melakukan kesalahan terhadap hal ini, ia berdosa. Nash jenis ini di antaranya tentang kejadian alam dan penetapan wajib adanya Allah dan sifat-sifatNya, diutusnya para rasul, mempercayai mereka dan mu’jizat-mu’jizatnya dan sebagainya. Kemudian apabila kesalahan seseorang itu mengenai keimanan kepada Allah dan rasul-Nya maka yang bersalah itu kafir, kalau tidak maka ia berdosa dari segi bahwa ia menyimpang dari kebenaran dan tersesat.
Adapun ushuliyyah adalah seperti ijma’ dan qiyas serta khabar ahad sebagai hujjah, maka masalah-masalah ini dalil-dalilnya adalah qoth’iyyah. Orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Mengenai masalah fiqhiyyah yang termasuk keadaan qoth’i yaitu shalat 5 waktu, zakat, puasa, pengharaman zina, pembunuhan, pencurian, minun khamar/ arak dan semua yang diketahui secara pasti dari agama Allah. Maka yang benar dari masalah-masalah itu adalah satu, dan itulah yang diketahui. Sedang orang yang menyalahinya adalah berdosa.
Setelah kita mengetahui yang qoth’i seperti tersebut, maka bisa ditarik garis sebagai berikut:
1. Apabila seseorang menyelisihi hal-hal yang diketahui secara dhoruri dari maksud al-Syari’ (hal-hal yang setiap Muslim wajib tahu), maka ia adalah kafir, karena pengingkarannya tidak timbul kecuali dari orang yang mendustakan syara’. (Misalnya orang mengingkari keesaan Allah, mengingkari wajibnya shalat 5 waktu, wajib puasa Ramadhan dsb, maka pengingkarnya itu adalah kafir).
2. Apabila masalahnya mengenai hal yang diketahui secara pasti, dengan jalan penyelidikan, seperti hukum-hukum yang dikenal dengan ijma’, maka pengingkarnya bukan kafir, tetapi ia bersalah dan berdosa. (Contohnya, mengingkari tidak bolehnya perempuan mengimami shalat lelaki, maka pengingkarnya adalah berdosa).
3. Adapun masalah fiqhiyyah yang dhonni, yang tidak mempunyai dalil pasti, maka masalah ini jadi tempat ijtihad dan tidak ada dosa atas mujtahid dalam masalah itu menurut orang yang berpendapat bahwa yang tepat adalah satu, dan tidak (berdosa) pula menurut orang yang mengatakan setiap mujtahid adalah tepat. 1
A. Pengertian dan fungsi Qaidah Ushuliyyah
Pengertian qaidah secara etimologi adalah asas (dasar), yaitu yang menjadi dasar berdirinya sesuatu. Atau dapat juga diartikan sebagai dasar sesuatu dan fondasinya (pokoknya). 2
Sementara itu Ushuliyyah adalah Dalil syara’ yang bersifat menyeluruh, universal, dan global (kulli dan mujmal). Jika objek bahasan ushul fiqih antara lain adalah qaidah penggalian hukum dari sumbernya, dengan demikian yang dimaksud dengan qaidah ushuliyyah adalah sejumlah peraturan untuk menggali hukum. Qaidah ushuliyyah itu umumnya berkaitan dengan ketentuan dalalah lafaz atau kebahasaan.
Sumber hukum adalah wahyu yang berupa bahasa, sementara qaidah ushuliyyah itu berkaitan dengan bahasa. Dengan demikian qaidah ushuliyyah berfungsi sebagai alat untuk menggali ketentuan hukum yang terdapat dalam bahasa (wahyu) itu.
Menguasai qaidah ushuliyyah dapat mempermudah fakif untuk mengetahui hukum Allah dalam setiap peristiwa hukum yang dihadapinya. Dalam hal ini Qaidah fiqhiyah pun berfungsi sama dengan qaidah ushuliyyah, shingga terkadang ada suatu qaidah yang dapat disebut qaidah ushuliyyah dan qaidah fiqkiyah.
Sedangkan perbedaannya :
No.
Qawaid Ushuliyyah
Qaidah Fiqih
1.
Dalil hukum
Perbuatan mukallaf
2.
Berlaku bagi seluruh juziyyah
Berlaku bagi sebagian besar (aghlab) juziyyah
3.
Sebagai sarana istinbath hukum
Sebagai usaha menghimpun dan mendekatkan ketentuan hukum yang sama untuk memudahkan pemahaman fiqih
4.
Bersifat prediktif
Bersifat wujud setelah ketentuan furu’
5.
Bersifat kebahasaan
Bersifat ukuran
B. Beberapa Contoh Qaidah Ushuliyyah
a. السََّْبَبِ صِ بِِخُصٌوْ لاَ للّفْظِ ا مِ بِِعُمُوْ اَلْعِبْٕرَةُ
Artinya:
Yang dipandang dasar(titik talak) adalah petunjuk umum dasar lafazh bukan sebab Khusus (latar belakang kejadian)
b. نِعُ اْلمَا مَ قُدِ نِعُ اْلمَا و اَلمُقْتَضِي جْتمَعَ ِاذَاا
Artinya:
Bila dalil yang menyuruh bergabung dengan dalil yang melarang maka didahulukan Dalil yang melarang.
c. يْحِ التَّصْرِ بَلَةِ مُقَا فـ لاَلةِ لِلــدِّ ةَ عِبْرَ لاَ
Artinya:
Makna implicit tidak dijadikan dasar bila bertentangan dengan makna eksplisit.
d. Lafazh nakirah dalam kalimat negatif(nafi) mengandung pengertian umum.
e. Petunjuk nash didahulukan daripada petunjuk zahir.
f. AL-AMR LIL IJAB : Petunjuk perintah (amr) menunjukan wajib. Seperti contoh kasus fiqhnya pada QS 5/1 (memenuhi janji adalah wajib).
g. Tidak dibenarkan berijtihad dalam masalah yang ada nash-nya.
h. Dalalah lafazh mutlak dibawa pada dalalah lafazhmuqayyad.
i. Perintah terhadap sesuatu berarti larangan atas kebalikannya.
C. LAFAZH DAN DALALAHNYA
1. Pengertian Mujmal dan Mubayyan
Hampir delapan puluh persen penggalian hukum syariah menyangkut lafazh. Agar tidak membingungkan para pelaku hukum, maka lafazh–lafazh yang menunjukkan hukum harus jelas dan tegas, kenyataannya petunjuk (dilalah) lafazh-lafazh yang terdapat dalam nash syara ‘itu beraneka ragam, bahkan ada yang kurang jelas (khafa).
Suatu lafazh yang tidak mempunyai kemungkinan makna lain disebut mubayyan atau nash. Bila ada dua makna atau lebih tanpa diketahui yang lebih kuat disebut mujmal. Namun bila ada makna yang lebih tegas dari makna yang ada disebut zhahir. Dengan demikian yang disebut mujmal adalah lafazh yang cocok untuk berbagai makna, tetapi tidak ditentukan makna yang tidak dikehendaki, baik melalui bahasa maupun menurut kebiasaan pemakaiannya (Al-ghazali:145).
Sifat mujmal itu dapat terjadi pada kosa kata (mufradat), seperti lafazh guru’ bisa berarti suci dan haid, dapat juga terjadi pada kata majemuk (munkkab) seperti mukhathab yang terdapat pada surat Al-baqarah: 237, yang bisa berarti suami atau wali. Terdapat juga pada kata kerja seperti lafazh asas yang bisa berarti menghadap dan membelakangi, pada huruf seperti pada wauataf bisa berarti memulai dan menyambungkan (dan).